Minggu, 21 September 2008

Mapping Vulnerability, Disaster, Development & People


Inilah pembangkit gairah para praktisi pengurangan risiko bencana yang sudah mulai loyo. Sebuah buku yang menyajikan pandangan-pandangan tentang konsep kerentanan (keringkihan-Jawa) sebagai suatu pendekatan permasalahan berlapis sanding (cross-cutting issues) yang menyebabkan suatu masyarakat berpotensi menderita risiko bencana. Buku ini ditulis secara keroyokan oleh teknokrat dan praktisi pengurangan risiko bencana dari berbagai universitas di Eropa dan Amerika. Meski begitu, buku ini tidak merepresentasikan cara pikir barat yang naif. Dengan mengambil contoh-contoh kasus di Ethiopia, El Salvador dan Filipina, justru memperlihatkan kegagalan "pembangunan agresif" yang disponsori barat dan menghasilkan kemerosotan daya dukung lingkungan di negara-negara membangun.
Secara tegas, bagian pengantar buku menyatakan bahwa ancaman berasal dari tiga sumber. Pertama ancaman yang merupakan kejadian alamiah dan sudah given seperti gempa, tsunami, gunung meletus, angin topan. Kedua, ancaman akibat perbuatan manusia seperti kegagalan teknologi, pencemaran lingkungan dan konflik. Ketiga, adalah kombinasi kejadian alamiah yang diperparah perbuatan manusia seperti banjir dan longsor.Namun ancaman tidak bisa serta-merta menjadi bencana. Ancaman akan menjadi bencana bagi suatu masyarakat yang memiliki kerentanan (keringkihan--Jawa) yang semakin jari semakin meningkat.
Lalu apa yang membuat kebanyakan rakyat di negara membangun rentan? Ini sebuah pertanyaan sederhana untuk permasalahan begitu kompleks yang dihadirkan kepada sidang pembaca buku ini?
Mulai jawaban paling umum ada dalam buku ini; kerentanan disebabkan oleh kemiskinan, kehilangan akses-kontrol atas aset penghidupan (sosial, ekonomi, politik) dan peminggiran sistemik oleh politik ekonomi global. Jawaban lain, akibat kombinasi antara interaksi kebijakan lokal-global serta melemahnya kemampuan rakyat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan alamiah. Persis seperti argumentasi yang dibangun James Ferguson (1999); konstruksi tata dunia baru (baca: neoliberalisme) tak hanya meminggirkan kaum lemah, tetapi juga merampok mereka dengan janji-janji kosong tentang pembangunan.
Kenyataanya saat ini bahwa jutaan orang di dunia memiliki kerentanan yang makin intensif. Termasuk berkurangnya kemampuan mereka menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan lingkungan tempat tinggal -yang penuh ancaman-. Kerentanan inilah yang akhirnya menyeret mereka kepada situasi rentan dan mau tak mau menerima bencana setiap kali ancaman datang.
Buku ini mengedepankan premis bahwa menakar kerentanan suatu masyarakat adalah "jalan lain" untuk memahami bencana serta memformulasikan penanggulangannya secara kontekstual. Tentu ini menjawab thesis Terry Cannon (2000) yang menyatakan bahwa ancaman (hazard) itu alamiah, sementara bencana tidak. Basis argumentasi Cannon berangkat dari fakta bahwa proses-proses sosial disetiap tingkatan masyarakat telah memaksa kaum miskin menanggung risiko bencana lebih besar dibanding kaum kaya. Contohnya dalam buku ini adalah kaum miskin di Lembah Lempa El Slavador, yang terpaksa tinggal di bantaran sungai sehingga mejadi pelanggan bencana banjir setiap musim hujan.
Dengan begitu, penanggulangan bencana oleh suatu masyarakat ditentukan oleh kemampuan mereka mengurangi kerentanan dengan mengikis ketidakadilan relasi sosial, ekonomi dan politik. Pada masanya argumentasi Cannon berhadapan dengan kecenderungan penanggulangan bencana dekade 1970-an hingga 1980-an yang teknokratis, berfokus pada relasi manusia dengan lingkungannya saja, sehingga bencana ditangani semata-mata dengan intervensi teknologi peramalan kejadian ancaman serta pembangunan infrastruktur perdam intensitas ancaman. Kalau ancamannya gempa bumi, siapa bisa meramalkan secara presisi kapan akan terjadi dan bagaimana mengurangi tingkat guncangannya?
Meneropong bencana melalui lensa kerentanan menjadi kebutuhan ketika frekuensi dan magnitudo bencana makin meningkat. IFRC (2002) melaporkan jumlah kejadian bencana di seluruh dunia telah meningkat 93 persen setiap dekade. Tahun 1992 dengan 368 kejadian menjadi 712 kejadian di tahun 2001. Jumlah jiwa yang terkena dampak juga meningkat dua kali lipat, dari 78.292.000 orang tahun 1992 menjadi 170.478.000 orang pada tahun 2001.
Lensa kerentanan juga menjadikan kita lebih cermat dalam mengukur tingkat risiko secara individu dan komunitas atas suatu bencana. Charlotte Benson (bab 11) menjelaskan bahwa tidak semua orang miskin itu rentan terhadap suatu jenis bencana. JUga tidak semua orang miskin itu memiliki kerentanan yang sama. Bahkan yang bukan orang miskin pun bisa saja menjadi paling rentan terhadap suatu jenis bencana.
Kerentanan adalah suatu predikat (property), bukan hasil dari suatu interaksi sosial. Juga kerentanan tidak bersifat statik. Sebaliknya, sangat dinamis dan merupakan ekspresi relasi kondisi sosial-ekonomi dengan karakter ancaman.
Bencana bukan disebabkan oleh satu jenis ancaman alamiah, sebagaimana dielaborasikan Allan Lavell dalam pembahasannya tentang Lembah Sungai Lempa di El Salvador (bab 5). Menurutnya bencana disebabkan oleh pembangunan masa lampau yang tidak mengindahkan keberlanjutan daya dukung lingkungan. Pembangunan yang agresif itu menjadi salah satu kategori penting penyebab kerentanan.
Nyatanya, banyak manusia yang menjadi rentan karena pembangunan, sebagaimana didiskusikan Annelies Heijmans pada kasus Philipina (bab 8)